"LKM BINANGUN TAYUBAN"


Alamat :
Rios no 01 Komplek Balai Desa Tayuban, Jl. Ki Hadi Sugito Km 01 Tayuban, Panjatan, Kulon Progo 55655
email : lkmtayuban@gmail.com
telp : 087739040234

Selasa, 23 Februari 2010

Cuplikan Sejarah Kulon Progo

oleh :Djarot Purbadi
Thursday, February 26, 2009 12:11 PM

Wilayah Kulon Progo… sebelum menjadi Kabupaten Kulon Progo pada Tangga 15 Oktober 1951, terbagi atas dua kabupaten yaitu Kabupaten Kulon Progo yang berada di bagian utara sebagai bagian wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kabupaten Adikarta di bagian selatan yang merupakan wilayah kekuasaan Kadipaten Pakualaman.

WILAYAH KASULTANAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT (KABUPATEN KULON PROGO) :Wilayah Utara.

Sebelum Perang Diponegoro di daerah Naragung, termasuk didalamnya wilayah Kulon Progo, merupakan wilayah kosong tanpa kekuasaan atau belum ada pejabat pemerintahan yang menjabat di daerah sebagai penguasa. Pada waktu itu roda pemerintahan dijalankan oleh Pepatih Dalem yang bertempat tinggal di Ibukota negara Kutogoro. Setelah Perang Diponegoro 1825-1830 di wilayah Kulon Progo (kasultanan) terbentuk empat kabupaten kecil yaitu:

1. Kabupaten Pengasih, tahun 1831
2. Kabupaten Sentolo, tahun 1831
3. Kabupaten Nanggulan, tahun 1851
4. Kabupaten Kalibawang, tahun 1855
Masing-masing kabupaten tersebut dipimpin oleh para Tumenggung atau Riyo.

Menurut buku ‘Prodjo Kejawen’ pada tahun 1912, 4 Kabupaten Kecil yakni Kabupaten Pengasih, Sentolo, Nanggulan dan Kalibawang digabung menjadi satu dan diberi nama Kabupaten Kulon Progo, dengan ibukota di Pengasih. Bupati pertama dijabat oleh Raden Tumenggung Poerbowinoto.

Dalam perjalanannya, sejak 16 Februari 1927 Kabupaten Kulon Progo dibagi atas dua Kawedanan (distrik) dengan delapan Kapanewon (onder distrik), sementara itu ibukota kabupaten dipindahkan ke Sentolo. Dua Kawedanan tersebut adalah Kawedanan Pengasih dan Kawedanan Nanggulan, yang masing-masing membawahi 4 Kapanewonan (onder distrik). Kawedanan Pengasih meliputi kepanewonan Lendah, Sentolo, Pengasih dan Kokap/sermo. Sedangkan Kawedanan Nanggulan meliputi kapanewonan Watumurah(Girimulyo ), Kalibawang dan Samigaluh. Adapaun yang menjabat bupati di Kabupaten Kulon Progo sampai dengan tahun 1951 adalah sebagai berikut:
1. RT. Poerbowinoto
2. KRT. Notoprajarto
3. KRT. Harjodiningrat
4. KRT. Djojodiningrat
5. KRT. Pringgodiningrat
6. KRT. Setjodiningrat
7. KRT. Poerwoningrat

WILAYAH KADIPATEN PAKUALAMAN (KABUPATEN ADIKARTA) : Wilayah Selatan

Di daerah selatan Kulon Progo ada suatu wilayah yang masuk Keprajan Kejawen yang bernama Kabupaten Karang Kemuning yang selanjutnya dikenal dengan nama Kabupaten Adikarta. Menurut buku ‘Vorstenlanden’ riwayat Kabupaten Adikarta sebagai berikut : disebutkan bahwa pada tahun 1813 Pangeran Notokusumo diangkat menjadi KGPA Ariyo Paku Alam I dan mendapat palungguh di sebelah barat Sungai Progo, sepanjang pantai selatan yang dikenal dengan nama daerah sebelah utara Pasir Urut Sewu. Oleh karena tanah pelungguh (Pelenggah) itu letaknya berpencaran, maka Sentana Dalem Paku Alam yang bernama Kyai Kawirejo I menasehatkan agar tanah pelungguh tersebut disatukan letaknya. Dengan penyatuan pelungguh tersebut, maka layaklah menjadi satu daerah kesatuan yang (luasnya) setingkat kabupaten. Daerah ini kemudian diberi nama Kabupaten Karang Kemuning dengan ibukota Brosot. Sebagai Bupati yang pertama adalah Tumenggung Sosrodigdojo.

Pada mas pemerintahan Bupati kedua, yang dijabat oleh R. Rio Wasadirdjo, KGPAA Paku Alam V memerintahkan agar mengusahakan pengeringan tanah rawa di Karang Kemuning. Rawa-rawa yang dikeringkan itu kemudian dijadikan tanah persawahan yang sungguh-sungguh elok, Adi (Linuwih) dan Karta (Subur) atau daerah yang sangat subur. Oleh karena itu, maka Sri Paduka Paku Alam V selanjutnya berkenan menggantikan nama Karang Kemuning menjadi Adikarta pada tahun 1877 dengan ibukota di Bendungan. Pada perkembangan selanjutnya pada tahun 1903 Ibukotanya dipindahkan ke Wates.

Kabupaten Adikarta terdiri dua kawedanan (distrik) yaitu kawedanan Sogan dan kawedanan Galur. Kawedanan Sogan meliputi kapanewon (onder distrik) Wates dan Temon, sedangkan Kawedanan Galur meliputi kapanewon Panjatan dan Brosot.

Adapun yang menjabat Bupati di Kabupaten Adikarta sampai dengan tahun 1951 berturut-turut sebagai berikut:
1. Tumenggung Sosrodigdojo
2. R. Rio Wasadirdjo
3. R.T. Surotani
4. R.M.T. Djayengirawan
5. R.M.T. Notosubroto
6. K.R.M.T. Suryaningrat
7. Mr. K.R.T. Brotodiningrat
8. K.R.T. Suryaningrat (Sungkono)

KESATUAN WILAYAH DENGAN JAWA BESAR/INDONESIA: PENGGABUNGAN KABUPATEN KULON PROGO DENGAN KABUPATEN ADIKARTA

Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengu Buwono IX dan Paku Alam VIII Pada 5 September 1945 mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa Wilayah Kekeuasaan Kasultanan dan Pakualaman adalah daerah yang bersifat kerajaan dan Daerah Istimewa sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tahun 1951, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII memikirkan perlunya penggabungan antara wilayah Kasultanan yaitu Kabupaten Kulon Progo (wilayah uatara) dengan wilayah Pakualaman yaitu Kabupaten Adikarto( wilayah selatan).

Atas dasar kesepakatan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII, maka oleh pemerintah pusat dikeluarkan UU No. 18 tahun 1951 yang ditetapkan pada tanggal 12 Oktober 1951 dan diundangkan tanggal 15 Oktober 1951. Undang-undang ini mengatur tentang perubahan UU No. 15 tahun 1950 untuk penggabungan Daerah Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Adikarta dalam lingkungan DIY menjadi satu kabupaten dengan nama Kulon Progo yang selanjutnya berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri. Undang-undang tersebut mulai berlaku mulai tanggal 15 Oktober 1951. Selanjutnya tanggal tersebut secara yuridis formal ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Kulon Progo, yakni 15 Oktober 1951, atau saat diundangkannya UU No. 18 tahun 1951 oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia.

Selanjutnya pada Tanggal 29 Desember 1951 proses administrasi penggabungan telah selesai dan pada tanggal 1 Januari 1952, administrasi pemerintahan baru, mulai dilaksanakan, dengan pusat pemerintahan di Wates.

Nama-nama yang menjabat Bupati Kulon Progo sejak tahun 1951 sampai sekarang adalah sbb:

1. KRT. Suryoningrat (1951 – 1959)
2. R. Prodjo Suparno (1959-1962)
3. KRT. Kertodiningrat (1963-1969)
4. R. Soetedjo (1969-1975)
5. R. Soeparno (1975-1980)
6. Drs. KRT. Wijoyo Hadiningrat ( 1981-1991)
7. Drs, H, Suratidjo (1991-2001)
8. H. Toyo Santosa Dipo (PDIP), Wakil Bupati H. Anwar Hamid (PKB) -
2001-2006
9. H. Toyo Santosa Dipo (PDIP) dan Wakil Drs. H. Mulyono (PAN) -2006-2011

Sumber : DPRD Kulon Progo, (editing KJG 09)

lembaga Keuangan Mikro Perlu Payung Hukum

Posted by boutiquesoftware on November 14, 2009

Deputi Gubernur Bank Indonesia, Budi Rochadi, mengatakan, keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia perlu payung hukum yang bisa mengatur peran dan pengawasannya. “LKM itu harus segera punya payung hukum, sehingga keberadaannya tidak bertabrakan dengan UU perbankan. Kita sangat peduli dengan LKM tetapi harus ada payung hukumnya,” kata Budi Rochadi di sela-sela pertemuan wilayah Asia Pasifik Kredit Mikro di Nusa Dua Bali.

Menurut Budi, keberadaan LKM di Indonesia sudah berjalan lama di masyarakat dan jumlahnya sangat banyak sehingga untuk meningkatkan peran dan pengawasannya sangat dibutuhkan sebuah undang-undang.

RUU LKM sebenarnya sudah masuk di DPR sejak dua tahun lalu, namun hingga kini belum juga dibahas. Belum dibahasnya RUU ini, lanjut Budi, antara lain terkait perbedaan
prinsip mengenai pengaturan dan pengawasan LKM.

“Ada yang mengarahkan untuk disentralkan, semua diatur secara nasional. Tetapi menurut BI dan Depkeu, sebaiknya diatur oleh tiap-tiap daerah seperti yang sudah dilakukan Pemda Bali,” katanya.

Dikatakannya, yang diatur secara nasional sebaiknya hanya aturan pokok saja dalam sebuah UU, namun untuk pelaksanaannya diserahkan ke masing-masing daerah. BI dan Depkeu, lanjutnya, juga telah bersepakat untuk mengeluarkan peraturan pemerintah mengenai status hukum yang jelas bagi LKM.

http://www.bankdki.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=209&Itemid=114

Penyerahan pengaturan dan pengawasan LKM ke daerah, dilakukan karena Bank Indonesia dan Depkeu tidak akan sanggup untuk mengawasi banyaknya LKM di Indonesia yang jumlahnya mencapai 50.000 dengan penyebaran yang sangat luas. “Kita tidak sanggup, begitu juga Bapepam karena saking banyaknya,” kata Budi.

Mengenai keberadaan LKM di Indonesia, Budi sepakat dengan prinsip pendiri Grameen Bank, Muhammad Yunus, bahwa LKM harus bertujuan membantu rakyat miskin dan tidak semata-mata komersial untuk mendapatkan keuntungan.

Jika bertujuan membantu rakyat miskin, maka penentuan tingkat suku bunga pinjaman dalam LKM juga harus transparan. “Kita akan mendorong agar suku bunga kredit mikro transparan dan bisa dibatasi. Kita akan cari bentuk hukumnya,” katanya.

LKM BERPOLA "MOBILE BANKING"

Ketika anda memutuskan satu hal, bayangkan gambaran orang termiskin yang pernah anda temui dan tanyakan kepada mereka, apa keputusan tersebut akan menolongnya. Jika jawabannya positif ambillah keputusan tanpa menunggu waktu

Ghandi

Membongkar ‘Mitos Klasik’
‘Sindrom takut utang’, itulah yang dirasakan oleh sebagian penduduk miskin di Kabupaten Kulon Progo, yang mengakibatkan mereka sama sekali belum tersentuh program-program dana bergulir. Kondisi psikologis ini pada umumnya timbul karena ‘ketidakpercayaan diri’ akan kemampuan mereka dalam mengembalikan pinjaman, atau bayangan mereka tentang sistem kredit yang ‘rumit, eksklusif, dan modern’. Di luar itu, persepsi yang keliru terhadap ‘kinerja’ penduduk miskin dalam aktivitas simpan-pinjam juga turut berperan dalam ‘mengasingkan’ mereka dari program-program yang menjadi ‘hak’ mereka.

Pandangan-pandangan aparat, pengelola program, bahkan masyarakat sendiri sudah ‘melembaga’ karena berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama, sehingga sudah berkembang jauh menjadi ‘mitos’, yang sebenarnya keliru. ‘Mitos klasik’ ini beranggapan bahwa penduduk miskin mempunyai ‘predikat’ yang jelek dalam mengelola atau memanfaatkan sumber-sumber keuangan. Mereka tidak dapat dipercaya, sumber potensial ‘penunggak’ pinjaman, dan bukan tipikal ‘wirausahawan’ yang gigih. Sehingga diambil kesimpulan bahwa menyalurkan kredit kepada penduduk miskin adalah tidak efisien, tidak menjamin kelangsungan dana, dan tidak akan produktif.

Mitos ini berujung pada pesimisme dan ketidakpercayaan terhadap penduduk miskin, yang mengakibatkan mereka pun menjadi lebih ‘tidak percaya diri’ lagi. Tanpa disadari, mitos ini juga telah menelikung banyak ‘pihak’ yang terlibat dalam pengembangan model keuangan mikro melalui program-program penanggulangan kemiskinan. Banyak program, yang pada awalnya dikhususkan untuk penduduk miskin, namun kemudian ‘menghalalkan’ orang non-miskin untuk ikut mengakses program tersebut. Sampai akhirnya ‘perhatian’ yang utamanya untuk memberdayakan penduduk miskin telah ‘dikalahkan’ untuk ‘memanajemen’ dana program yang kian hari kian banyak ‘permintaan’. Memang, di satu sisi sebagian penduduk miskin mengalami ‘sindrom takut utang’, namun di sisi lain ada orang non-miskin yang mengalami ‘sindrom berburu utang’, yaitu utang yang berbunga murah, prosedur mudah, dan ‘sanksi’ lemah. Kedua pihak ini sama-sama membutuhkan kredit yang tentu saja dengan jumlah (skala) berbeda.

Keadaan ini juga dipengaruhi oleh dianutnya nilai-nilai yang dianggap modern sebagai ukuran keberhasilan program, yang sebenarnya juga tidak lebih dari sekedar ‘mitos’. Aparat dan pengelola program mudah merasa ‘bangga’ jika program yang mereka kelola telah berhasil menumpuk modal (aset), ataupun nasabah dalam jumlah yang besar. Mereka beranggapan itulah hakikat efisiensi yang menjadi tujuan dana bergulir. Sebagian dari mereka lupa bahwa jika keberhasilan program harus diukur, maka ukuran yang paling masuk akal adalah sejauh mana program tersebut telah menolong penduduk miskin keluar dari kondisi mereka. Ukuran ini mensyaratkan bahwa nilai efektifitas juga tidak kalah penting (bahkan lebih penting) dari sekedar mengejar efisiensi (dalam wujud pemupukan modal/aset) semata.

Dana bergulir dinilai efektif apabila tepat sasaran kepada penduduk miskin yang selalu aktif berusaha (economic activally poor), bukannya jatuh kepada orang non-miskin yang sudah mampu berhubungan dengan bank atau lembaga keuangan lain. Lebih lanjut banyaknya nasabah program kredit tanpa pemetaan seberapa besar persentase penduduk miskin adalah contoh lain ukuran keberhasilan program yang hanya sekedar ‘mitos’. Mungkinkah ada kesepakatan untuk menegaskan batas toleransi peminjam non-miskin (non-poor borrowers) sebagai kompromi kepentingan seperti halnya konsep batas toleransi tunggakan (non-performing loans) dalam kredit bergulir?

Sungguh mengkhawatirkan jika saat ini banyak program (pengelola program?) yang nampak ragu-ragu untuk kembali menjadikan penduduk miskin sebagai ‘orientasi perjuangan’-nya. Hal ini karena pengaruh mitos-mitos keliru yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya melalui kajian-kajian empirik di lapangan. Patut diduga bahwa mitos-mitos ini dikembangkan untuk ‘melegitimasi’ kecenderungan yang saat ini sudah telanjur terjadi tentang sasaran program yang sarat dengan kepentingan. Budaya masyarakat tradisional yang lekat dengan nilai-nilai kebersamaan (gotong royong) menjadi rentan untuk dimanipulasi sesuai dengan kepentingan bisnis berburu utang.

Tanpa kita sadari pula terminologi pemberdayaan penduduk miskin telah digantikan dengan wacana-wacana pemberdayaan Usaha Kecil Menengah (UKM), yang kini mengakomodir sektor usaha mikro (UMKM). Sehingga banyak orang lebih suka menggunakan istilah ‘usaha mikro’ dibanding usaha ekonomi penduduk miskin (ekonomi rakyat) karena pengertian usaha mikro yang ‘lebih luwes’, dimana pengusaha berpenghasilan Rp 1 juta sampai dengan Rp 2 juta pun dapat disebut sebagai ‘usaha mikro’. Padahal inilah yang potensial menumbuhkan ‘predator-predator’ dalam mengakses sumber keuangan bagi penduduk miskin.

Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro di Kulon Progo diharapkan dapat menjadi ‘resep’ untuk ‘membongkar’ mitos yang melemahkan upaya penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan ekonomi rakyat tersebut. Patut disayangkan apabila aparatur pemerintah dan calon pengelola LKM tidak secara tegas memposisikan penduduk miskin sebagai ‘target perjuangan’ pengembangan LKM. Bukan saja karena terkungkung oleh kepercayaan terhadap mitos yang keliru, namun juga karena hal tersebut berarti mengingkari sejarah awal pengembangan LKM dalam forum Micro-credit Summit di Washington tahun 1997, yang ditujukan untuk menanggulangi kemiskinan 100 juta keluarga miskin di seluruh dunia, termasuk 10 juta di antaranya di Indonesia. Pengembangan LKM merupakan upaya untuk membuktikan bahwa penduduk miskin memiliki tanggung jawab dan kemampuan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber-sumber permodalan.


The Microfinance Institutions (MFIs) are in the process of destroying several very old myths : the poor are not creditworthy; they are not reliable borrowers; they are not resourceful enough to make savings; they are bad investors and even worse enterpreneur. The MFIs are demonstrating the exact opposite. They are showing in practice that the poor have a saving sense, do save, and are reliable borrowers. (Jacques B Gelinas, 1998: 108)

Ada baiknya Pemkab Kulon Progo meresapi ungkapan Ghandi untuk ‘belajar mendengar aspirasi orang miskin’, yang selalu memiliki cara untuk bertahan hidup dalam segala keterbatasannya, sebelum memutuskan model LKM yang sedang digagas oleh Tim Pemkab. Apakah model tersebut sesuai (sederhana dan familiar) bagi mereka, dapat membantu mereka, dan benar-benar dapat dimanfaatkan oleh mereka, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dipertimbangkan oleh Tim Pemkab.


Menuju Pola ‘Mobile Banking’
Belajar dari pengalaman mengamati persepsi dan tradisi penduduk miskin di perdesaan, maka perlu dikembangkan model LKM yang ‘sesuai’ dengan tipikal penduduk miskin tersebut. Mungkin kita tidak perlu malu untuk ‘belajar’ kepada ‘rentenir’ yang telah memiliki sejarah panjang dalam berinteraksi dengan penduduk miskin (umumnya pedagang kecil). Rentenir, yang populer disebut dengan ‘lintah darat’, selalu berusaha secara proaktif untuk memenuhi kebutuhan modal penduduk miskin. Sebagai imbalan atas kesediaannya ‘keluar-masuk’ rumah orang, pasar, atau tempat-tempat umum lainnya, mereka mematok bunga yang sangat tinggi, sehingga karena tingginya beban bunga tersebut mereka sebenarnya sedang ‘mencekik’ nasabah mereka. Namun karena merasa butuh, mudah untuk didapatkan, dan cepat prosesnya, para pedagang kecil tetap memanfaatkan ‘jasa’ rentenir. Kini, setelah banyak program kredit mikro yang digulirkan kepada masyarakat, peran rentenir semakin terpinggirkan. Namun, apakah ini berarti penduduk miskin semakin memiliki keinginan kuat untuk berhubungan dengan program-program tersebut? Seperti telah diuraikan dimuka, mereka tetap saja mengalami ‘hambatan psikologis’ dan ‘hambatan struktural’ untuk dapat mengakses sumber modal yang mereka butuhkan.

Pola-pola kredit mikro yang sederhana dan familiar dapat diwujudkan dengan menggunakan model ‘mobile banking’, yaitu sistem penyaluran kredit yang mengandalkan mobilitas layanan dari pengelola LKM. Jika penduduk miskin merasa ‘tidak nyaman’ atau ‘sungkan’ untuk datang ke kantor pelayanan LKM, maka petugas LKM-lah yang harus ‘rajin’ mendatangi rumha-rumah atau pertemuan-pertemuan (arisan simpan pinjam) yang diadakan oleh penduduk miskin. Model ini sudah banyak dipakai oleh LSM yang mereplikasi LKM di luar negeri seperti Grameen Bank di Bangladesh. Di Bangladesh, dan juga negara lain di Afrika (Pantai Gading) dan Kamerun), dan di India, sudah banyak dikembangkan model ‘mobile banking’ tersebut.

Para petugas lembaga keuangan di negara-negara tersebut ‘berkeliling’ untuk ‘melayani’ nasabah mereka yang termasuk penduduk miskin. ‘Mobile banking’ tidak saja menyediakan kredit murah yang dibutuhkan oleh penduduk miskin, melainkan juga melayani jasa tabungan yang dihimpun dari penduduk miskin itu juga. Demikian keberadaan ‘mobile banking’ benar-benar dapat berfungsi sebagai perantara keuangan (financial intermediatory) khususnya bagi penduduk miskin yang pada umumnya perempuan petani, pedagang, dan pengrajin yang ‘alergi’ dengan bank konvensional.

In Ivory Coast, the use of mobile bankings is the most common from of saving and acces to credit for the vast majority of women. These thousands of peasants, saleswomen, smallcraftwomen would never enter a bank ‘out of fear, because they think that banks are for the rich, or simply because they are illiterate’. Says Jeanne Kouao, a CIFAD representative (Comite’ International des Femines Africaines Pour le de’velopment) in Ivory Coast. In her oppinion, the use of mobile bankings fits with traditional society customs, where one reaches out to parents and friends when in need of money.




Pengelola program bukan hanya ‘pasif menunggu’ kedatangan penduduk miskin, melainkan berupaya mendatangi mereka untuk melihat dan mengidentifikasi keadaan serta kebutuhan-kebutuhan mereka akan pinjaman. Hal ini tentu saja membutuhkan keahlian dan komitmen untuk dapat ‘memetakan’ kemiskinan di wilayah kerja mereka, serta memahami persepsi dan karakteristik penduduk miskin setempat. Dengan metode ini lebih terbuka kemungkinan untuk melakukan fungsi-fungsi pemberdayaan terhadap penduduk miskin secara lebih terbuka dan partisipatif. Sayangnya, metode ini lebih banyak diterapkan secara ‘keblinger’ oleh para rentenir yang dibalik ‘cara baik’-nya tersebut tersimpan maksud menghisap uang para pedagang dan petani di Indonesia. Banyak jenis kredit mikro yang dikucurkan kepada usaha mikro yang karena ‘metode’ atau ‘pendekatannya’ tidak ‘familiar’ belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan penduduk miskin. Pola mobile banking dapat diterapkan dalam rencana pendirian LKM baru di Kulon Progo. LKM yang dibentuk oleh Pemda jangan sampai terlalu menekankan pada pola ‘birokrasi’ yang justru menghambat perkembangan peran LKM untuk memberdayakan penduduk miskin.
Oleh : Awan Santosa (penulis adalah Peneliti di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM dan Dosen Negeri dpk di Universitas Mercu Buana Yogyakarta)